Selasa, 23 April 2019

Studi Monotheatre

Monotheatre dapat disebut sebagai pertunjukan teater tunggal di mana seorang pemeran menyajikan lakon seorang diri. Pilihan terma monotheatre diambil untuk memberikan penekanan pada sisi pertunjukan. Artinya, model penampilan bisa saja bebas semisal monolog, monodrama, pantomim, stand up comedy, teater gerak atau atraksi pertunjukan lainnya yang menampilkan satu cerita atau rangkaian peristiwa oleh seorang penampil. Pertunjukan tunggal utamanya monolog atau monodrama sering dianggap sebagai elemen penting dalam akting teater dramatik sehingga audisi pemeran hampir selalu menggunakannya. Namun di sisi lain, jenis pertunjukan semacam ini dianggap kurang menantang dan tidak bisa memberikan kejelasan kompetensi pemeranan bagi si pemeran karena cerita disajikan secara seorang diri sehingga tidak memungkinkan adanya aksi-reaksi dengan pemeran (karakter) lain. Kondisi paradoks ini menarik bagi proses pembelajaran seni peran di Studio Teater yang dalam produksi ke 30 ini memilih monotheatre sebagai studi kasus. Fokus utama dalam studi ini adalah pemeran, lakon, dan atau gagasan. Apa yang akan dikerjakan seorang pemeran jika hanya memiliki lakon atau gagasan semata? Umum diketahui bahwa dalam pementasan monolog atau karya pemeranan tunggal lainnya, dukungan artistik sangat diperlukan. Elemen artistik sebagai faktor pendukung seolah-olah hadir untuk memberikan segala hal yang tidak bisa diwujudkan oleh aktor sehingga keberadaannya adalah keharusan. Keperluan mendesak akan anasir artistik itu mungkin memang bisa menguatkan sisi pemeranan namun mungkin juga justru melahirkan situasi paradoks tersebut. Karena itu, jika pemeran sudah cukup bisa menyampaikan makna lakon atau gagasanya lalu mengapa pula elemen artistik semacam tata panggung, properti, cahaya, suara, rias dan busana menjadi keniscayaan?

Hal inilah yang ingin coba dijelajahi oleh Studio Teater melalui proyek Monotheatre yang menampilkan teks-teks karya Whani Darmawan serta gagasan gerak dari Bagus Rizky. Beragam model pertunjukan coba ditampilkan dalam produksi ini. Galang Berti akan tampil dalam model monolog dengan lakon "Penangsang", duo monolog akan disajikan oleh Danial Lee dengan lakon "Suwarno Suwarni" dan Tasya Rafizi dengan lakon "Suwarni Suwarno" serta Bagus Rizky dengan mono gerak "Falling Leave & Drunken Swordsman". Duo monolog menjadi satu kajian tersendiri di samping teknik pemeranan karena 2 buah monolog ditampilkan oleh 2 orang pemeran dalam satu ruang dan waktu yang sama. Meski cerita yang ditampilkan sebangun hanya berbeda tokoh dan gender namun keduanya tidak dalam situasi berdialog. Masing-masing tampil dengan ceritanya sendiri, Tentu saja konsepsi semacam ini membutuhkan waktu pemahaman khusus bagi Danial dan Tasya, 2 orang pemeran dari Malaysia yang sedang mengikuti program internship di PPPPTK Seni dan Budaya Yogyakarta. Selain itu, absennya unsur tata artistik pementasan juga menjadi pelajaran bagi semua pemeran yang terlibat.

Monotheatre ini akan dipentaskan pada tanggal 24 April jam 16.00 di SMK YP 17 Magelang, 26 April jam 16.00 di Auditorium Labkar UNY Yogyakarta, 28 April jam 19.30 di Blackbox Jurusan Teater ISI Surakarta, dan 30 April jam 20.00 di Auditorium Cak Durasim Surabaya. Tim dari Produksi yang dikonsep Eko Ompong ini terdiri dari Andre Surawan sebagai pimpinan rombongan dan stage manager, Whani Darmawan sebagai penulis dan penyelia pementasan, Heru Subagiyo dan Yus Aristono sebagai pelatih peran, Nugroho Hari sebagai sie latihan, serta Awis dan Yudi Becak sebagai manajer teknik. Pementasan ini terselenggara berkat kerjasama Studio Teater PPPPTK Seni dan Budaya dengan SMK YP 17 Magelang, Teater Bias 17, Teater Mishbah UNY, HIMATIS ISI Surakarta, SMK 12 Surabaya, The 9 Theatre Vision, Gelaran ID, Theatre by Request, Taman Budaya Jawa Timur, Mata Tikus, BroS Jogja, Uteke, dan Teater Taukk.