Sabtu, 18 Mei 2019

TbR Dan Pembelajaran Teater

Teater sebagai salah satu cabang seni telah masuk secara resmi ke dalam kurikulum sekolah dasar dan menengah. Jika tidak diajarkan dalam kelas intrakurikuler, teater seringkali menjadi pilihan dalam kegiatan ekstrakurikuler. Pesona teater biasanya berkait erat dengan film dan drama televisi. Artinya, banyak orang/siswa beranggapan bahwa bermain teater akan mengantarkan mereka menjadi salah satu aktor film dan televisi. Pesona ini dibarengi dengan imajinasi mudahnya cara atau jalan untuk mencapai tujuan. Namun dalam kenyataannya, banyak siswa atau peserta kelas teater yang undur diri karena proses untuk menjadi aktor itu tidaklah mudah. Bermain drama tidak semudah menyaksikan film atau sinetron. Buyarnya imajinasi dalam kenyataan ini juga didukung oleh fakta sulitnya mencerna pertunjukan teater panggung yang ada. Kalimat-kalimat dialog dan bahkan cerita yang ditampilkan pun tak serenyah cerita dalam film dan sinetron yang mereka bayangkan. Soal-soal tersebut dijumpai oleh TbR dalam Pentas Ramadan di SMK 4 Yogyakarta dan SMA Santo Mikael Sleman Yogyakarta, di mana guru pendamping menjelaskan sulitnya mempertahankan antusias siswa dalam mengikuti pembelajaran teater. Perjumpaan imajinasi siswa dangan proses berlatih atau apresiasi tontotan teater berakhir tidak mengenakkan yang membuat susutnya jumlah siswa kelas teater.

Semenjak kelahirannya, Theatre By Request (TbR) mencoba untuk mengurangi problematika tersebut. Teater dihadirkan tidak sebagai sebuah pertunjukan penuh pesona yang sekaligus mendudukkan penonton secara pasif melainkan sebagai sebuah aktivitas teatrikal yang dihidupkan oleh pemain dan penonton. "Aktivitas" adalah kata yang penting karena siswa sekolah dasar dan menengah sedang berada dalam tahap perkembangan fisik sehingga tubuhnya selalu membutuhkan pergerakan. Apalagi jika selama penyelenggaraan pembelajaran di sekolah mereka hanya duduk mendengarkan, tentu saja pergerakan fisik menjadi niscaya. Bisa dibayangkan betapa rasa bosan ini akan meningkat ketika memasuki kelas teater yang ditemui adalah membaca teks, menghafal teks dan memainkannya dengan tanpa memerlukan pergerakan fisik signifikan. Belum lagi, tidak semua peserta bisa menjadi pemain karena naskah lakon yang ada tidak memungkinkan untuk itu. Oleh karena itulah, TbR menggunakan theatre games sebagai formula latihan peran dan improvisasi sebagai formulasi cerita yang akan dimainkan. Dengan demikian, semua siswa bisa menjadi pemain karena theatre games menyediakan semua kebutuhan elemen pemeranan mulai dari rasa, gerak, suara dan improvisasi cerita diolah ke dalam nomor-nomor cerita pendek dengan berbagai pilihan ekspresi penampilan. Cerita-cerita pendek yang disusun sendiri dengan aturan tertentu memungkinkan semua orang untuk tampil. Jadi pada akhirnya, teater adalah aktivitas bermain dan menyaksikan permainan sekaligus bagi semua yang terlibat di dalamnya. Di dalam kegiatan bermain ini semua yang terlibat dapat saling belajar, baik perihal elemen teater maupun kualitas diri dalam berteater. (**)

2 komentar: